Selasa, 08 Juli 2008

Saat Aku Jatuh

I do not know whether to laugh or cry
I do not know whether to live or die
I do not know whether to stay or run away
I do not know…

Saat aku sadar bahwa aku tlah berada di atas, seseorang menarik tanganku untuk turun ke bawah. Aku mengibas-ngibas tanganku agar tarikan itu menjauh dan tak lagi menyentuh tangan lemahku. Tapi kibasan itu tak menyurutkan tarikan itu, bahkan semakin menguat hingga karena kelelahanku, aku tertarik dan kemudian secara tiba-tiba aku terjatuh... Sungguh sangat sakit .... sakit sekali....

Saat itu aku sangat ingin menyakinkan diriku bahwa diriku hanya bermimpi. Jatuh itu hanyalah khayalan tidurku, yang untuk kemudian tidak akan kurasakan sakitnya. Aku sangat yakin, aku tidak merasakan apa-apa....

Tapi egoku ternyata merasakan hal yang sebaliknya. Dia terluka parah dan merintih. Menjerit-jeritkan akan ketidakberdayaanku. Saat luka itu semakin menganga, perlahan-lahan pikirankupun terluka, sehingga mata hatiku tak dapat melihat mengapa luka itu tiba-tiba ada. Aliran darah telah menutupi penglihatannya sehingga aku semakin gelap dan tak sadar, betapa aku melupakan diriku untuk segera membersihkannya.

Aku hilang akal dan tak mau menerima alasan. Aku menebas segala yang berada dihadapanku dengan lidah tajam yang semakin membiru. Mencela dan mencoba mencari-cari kelicikan orang lain. Terus mencoba mencari sehingga aku pun lelah diri dengan cucuran peluh yang mengalir deras. Tapi tetap tak menemukan apa yang kucari, sesuatu yang sebenarnya tak perlu kucari.

Aku seakan-akan terlena akan keberadaanku. Berada diketinggian, aku dapat melihat keindahan terbentang luas dihadapanku. Sekecil hal apapun dapat terlihat dan membanggakan diriku, menyadari bahwa hanya aku yang tahu. Namun semakin lama aku tak sanggup melihat lebih banyak keindahan itu dengan jelas. Sesuatu telah melumuri tubuhku dengan tanpa meninggalkan sejengkal pun keterbukaan. Tamakku menjerat semakin erat sampai-sampai aku hampir tak dapat bernapas lega sejenak pun. Angkuhku menindih memberatiku, sehingga aku semakin terhimpit dan sulit untuk bergerak lepas. Dengkiku merasuki hingga ke atom-atom di seluruh batinku hingga aku tak dapat lari menjauh.

Aku jatuh saat aku sama sekali tidak sadar, betapa yang menarikku adalah orang yang sama sekali tak kukenal. Aku tak mempunyai bayangan secuil pun akan keberadaannya. Aku tak mengenalnya sebelum ini. Dia begitu asing. Mungkinkah itu yang menyebabkan sakitku begitu terasa?? Dia dengan tiba-tiba menarik keras dan menghempaskan aku hingga aku merasa telah hancur lebur, tak menyisakan sedikitpun remah-remahnya.

Sedang apakah aku ini?? Jika aku tertidur, mengapa saat aku jatuh sangat terasa sakitnya?? Apabila aku terjaga, mengapa aku tak menyadari mengapa hal itu terjadi??

Apakah setelah terjatuh, aku dapat berdiri lagi dan mencapai keadaanku diketinggian seperti semula dengan pemandangan yang berbeda??. Apakah setelah terluka, aku akan lebih berhati-hati menjaga jiwa, menyiraminya dengan tetesan kebersahajaan dan kebijakan??. Apakah setelah remuk redam, aku dapat kembali tegak berdiri menatap hamparan hari-hari dengan lega hati??. Akankah aku menyerah??

I’m strong when I’m on your shoulders,
You raise me up to more than I can be.

Keluhan. Makian. Rintihan. Jeritan..... aku terlalu disibukkan dengan itu semua. Aku benar-benar t’lah melupakan keberadaan yang lain dengan anugerah yang telah diberikan kepada mereka. Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Mengabaikan keberadaan raga lain yang dengan setia akan mendengarkan. Yang akan menatap dengan dukungan. Yang menerima dengan keiklasan.

Untuk sebuah keindahan, ada sebuah mata untuk melihatnya,
Untuk setiap kebenaran, ada sebuah telinga untuk mendengarnya,
Untuk setiap cinta, ada sebuah hati untuk menerimanya.

Menerima apa adanya adalah sebuah kebijakan,
Memberi yang terbaik adalah sebuah kebajikan,

Aku harus belajar mencintai diriku sendiri agar aku mampu mencintai dan menyayangi orang lain – plus que hier, moins que demain lebih dari kemarin, kurang dari esok. Melihat dari cara pandang orang lain akan memberikan aku keluasan pikiran. Berpikir dengan kejernihan akan membuat aku dewasa dan terjaga. Pengalaman apapun, walau menyakitkan akan memberi aku kekuatan untuk tetap dapat tegar berdiri.

Don’t give up...
It’s just the way of the world when your heart heavy,
I will lift it for you
Don’t give up...
Because you are to be hurt if silence keep your eyes,
I will break it for you

Everybody wants to be understand,
While I can give you...
Everybody wants to be laugh,
Don’t give up....
Because you are loved...
No Women no cry….

Sebenarnya, ini adalah cerita yang aku buat dengan imajinasiku yang sangat dangkal. Tentang seseorang yang selama ini memberikan gambaran mendalam dan mengharu biru dalam berjuang dan bertahan hidup dalam lingkungan yang keras dan konservatif (dalam imajinasiku).

Nenekku. Ibu dari ayahku. Biasanya kami (cucu-cucunya) memanggil Ninok.

Tak lama aku mengenal secara mendalam dan pribadi akan sosok wanita ini, karena sebagian besar hidupku kuhabiskan di tempat yang berbeda dengannya. Bahkan aku memperoleh pengertian akan hubungan yang sangat dekat diantara kami adalah ketika aku menyadari bahwa aku telah remaja.

Jarak antara aku dan dia physically sangat jauh dan pada saat dulu hanya dapat dicapai setelah melakukan perjalanan berjam-jam (suatu hal yang membuatku tak nyaman adalah melakukan perjalanan darat yang sangat jauh dan melelahkan). Inilah salah satu penyebab mengapa pengenalan aku akan dia begitu dangkal terasa.

Dalam angan remajaku yang disirami dengan cerita dongeng televisi, tergambar sosok tua, ibunya ayahku, dengan pakaian yang rapi, bersih dan berkaca mata sedang membaca roman tua di atas sebuah kursi goyang di dalam ruangan yang sejuk dan damai. Cara bicara aristokrat dan terpelajar selalu mengiringi setiap tutur kata yang tersusun dan tertata. Pandangan mata yang cerdas selalu terpancar tatkala berbicara. Gambaran yang ideal seorang nenek bagiku.

Seseorang akan terasa keberadaannya tatkala orang itu sudah tiada....

Aku ternyata baru membuka mata pikiranku saat mengenang jauh keberadaanya setelah dia tiada... Seorang wanita tua yang selalu membuat air mataku haruku turun tanpa pamit. Yang dengan tangan kasarnya membelai setiap helai rambut anak-anaknya. Yang dengan pancaran mata lugunya menyirami kehidupan sederhana anak-anaknya. Yang dengan tutur kata lembut nasehatnya membekali batin anak-anaknya. Agar elok laku. Agar jujur bersikap. Agar bersahaja hidup. Agar selalu mengulurkan tangan. Agar tak segan memberi. Agar berdiri di atas kaki sendiri.
Waktu tidak akan pernah kembali...
Namun kembalilah pada masa lalu apabila rasa rindu hadir.

Seandainya masa perkenalanku dengannya dapat hadir lebih dahulu...
Seandainya aku dapat merasakan kebersahajaannya yang bercahaya lebih lama...
Seandainya aku dapat menikmati seluruh uluran kebaikannya...
Seandainya kesempatan bersamanya dapat lebih banyak dan bermakna....

Dia menjadi begitu berharga untuk dinilai bahkan melalui imajinasiku yang selalu membakar. Mengungkapkan keseluruhan dia apa adanya adalah keinginan yang membuncah dihatiku. Aku tidak melihat dia sebagai sosok seperti yang kuangankan dari satu dongeng di televisi. Sebaliknya, aku melihat dia adalah dia. Wanita yang berada dalam suatu keseimbangan peran. Sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pencari nafkah setelah sang suami berpulang kepada Sang Penggenggam Seluruh Jiwa. Tubuhnya yang kecil begitu lincah merambah hutan untuk dijamah dan digarap. Tangannya yang mungil dengan cekatan mengolah tanaman hutan untuk dapat menjelma menjadi makanan yang dapat dinikmati bersama anak-anak. Keterbatasan sebagai seorang wanita tidak menyurutkan langkahnya untuk tidak bergantung kepada orang lain. Agama dan tradisi keluarga memegang erat dirinya untuk tak menyentuh kesombongan dan keangkuhan diri. Menutup keegoisan dengan tirai kearifan yang bersahaja. Bahkan ringkih tubuh pun tak membuatnya menyerah untuk tetap kuat berdiri.

Air mata pun tak hentinya lancar mengalir...

Imajinasiku yang dangkal ini bahkan telah membuatku frustasi. Semua potongan-potongan memori menjadi tidak teratur dan melompat-lompat. Aku tidak bisa merangkainya menjadi alur yang padat. Betapa aku begitu memiliki ingatan yang sangat payah akan dirinya. Sedikit sekali yang aku punya....sangat sedikit...


Waktu tak dapat berputar kembali....
Tetapi aku dapat memutar gulungan memori dalam alam pikirku...
Mengenang seorang wanita yang tanpa sadar menjadi inspirasi hidupku (aku bahkan terkejut tatkala menyadari bahwa aku melihat gambaran sempurna seorang wanita yang memberdayakan dirinya sendiri dalam kehidupan keluarga dan masyarakat). Seorang wanita dalam artian yang sebenar-benarnya wanita.

.... No matter what they think of me,
They can’t take away my dignity....
Because the greatest love of all,
Those happening to me..
I found the greatest love of all inside of me,
.... Learning to love yourself is the greatest love of all+
+ George Benson ; The greatest love of all
AKU ADALAH SEORANG MUSAFIR

“dan bekalku sedikit, aku tidak melihatnya cukup.
Bekal itu membuat aku menangis karena panjangnya jarak. Apakah Engkau akan membakarku dengan api,
Wahai dambaan cita-citaku?”

aku adalah seorang musafir. Begitulah kukatakan bila ada yang bertanya siapa aku. Dari awalnya aku memang begitu dan takdirkulah yang menyebabkan aku menjadi musafir. Berjalan terus dari pertamanya keberadaanku. Melintasi garis batas dengan melampaui jarak dan waktu. Namun aku jujur, aku tak ingin melampaui batas jalur yang seharusnya kutempuh, seperti yang kulakukan dahulu kala. Saat aku tak sadar bahwa aku sebenarnya adalah seorang musafir.

Aku adalah seorang musafir. Mengapa ? begitulah yang s’lalu dan sering tertanyakan dari setiap insan yang melintas dihadapan mataku. Sungguh....aku tak tahu mengapa, akan tetapi yang kutahu hanyalah bahwa aku s’lalu mendapat tambahan bekal dalam perjalanan jauhku. S’makin lama s’makin bertambah. Sungguh tak kusangka, s’makin jauh perjalanan terlampaui dan s’makin lama waktu yang t’lah terakhiri, maka s’makin banyak yang t’lah kutemui. Sungguh seribu sungguh, ternyata aku memang seorang musafir.

Aku adalah seorang musafir. Kitab hidupku yang menulisnya begitu. Tiadalah sampai ilmuku menembus celah hampa penuh makna. Tatkala melampaui gurun, yang ada hanyalah pasir. Tatkala melangkahi sabana, yang ada hanyalah rumput. Manakala menembus kabut, yang terlihat asaplah semata. Bilamana di bawah hujan, yang kutepis hanyalah air belaka. Bilamana suatu waktu menengadah malam ke langit, yang ada hanyalah kelam. Menatap langit kelam tak berujung tak bertepi.... kecil... sungguh aku kecil. Menghitung semua langkah yang t’lah kuangkat, kapankah berhenti?. Adakah yang akan menghentikan perjalananku? Adakah sesuatu ? apakah itu ? itukah waktu?

Aku merintih. Aku mengisak. Dan aku adalah seorang musafir, yang mengais bekal pada setiap tempat pemberhentianku. Begitulah halnya aku. Cukupkah bekal itu untuk semua sisa perjalananku ? janganlah pernah bertanya begitu, sebab aku pun tak tahu. Mungkin sangat sedikit, bahkan untuk mengisi pundi-pundi nafasku. Namun aku hanya bisa terus berjalan, kar’na tiadalah aku yang pantas menghitung. Bukan hakku menunda waktu untuk menghitung, seberapa banyak bekal yang t’lah terkumpul. Sementara aku tak pandai berhitung. Kar’na aku adalah seorang musafir.

Ya, aku adalah seorang musafir, yang demikian s’lalu kubilang pada setiap yang menyela. Aku bukan raja, walau sangat ingin. Aku tiadalah seorang penguasa walau sangat berkehendak. Berharap aku seorang hartawan, namun tidaklah begitu. Mendamba adalah seorang cendikia, namun ternyata bukanlah aku. Dan aku bukanlah siapa-siapa ataupun apa-apa walaupun aku sangat berkehendak. Aku adalah seorang musafir belaka, yang – aku yakin – sebentar lagi akan berhenti berkelana. Sekejap lagi takkan bisa mengumpul bekal. Yang sesaat lagi ‘kan menjumpai Sang pemberi peran sebagai seorang musafir. Sebentar, sekejap, sesaat laku bekalku ‘kan bisa dihitung. Apakah masih tersisa dan cukup mengantarkanku ke gerbang keabadian, yang menjanjikan kenikmatan yang tak terkirakan. Ataukah .... perjalananku sia-sia. Tanpa bisa mengumpulkan kecukupan bekal. Bahkan tak terbayangkan bila aku terhina dan tercampakkan ke dalam kolam keabadian yang menyala-nyala, membakar-bakar.

Hanya keridhoan Rabb-ku yang s’lalu akan kukumpulkan disepanjang kembaraanku. Kar’na aku adalah seorang musafir.

Minggu, 16 September 2007

Beasiswa oh.. Beasiswa...

Di zaman sekarang, "pasti tidak akan ada yang menolak bila tanpa sebab diberi uang banyak".
Di zaman sekarang, "pasti tidak akan ada yang akan menolak segala sesuatu yang gratisan".
Dan di zaman sekarang, tidak bakalan ada yang menolak beasiswa!!!

Tapi gimana kalau yang dikasih dan dijanji-janjiin tidak datang-datang, padahal sudah berharap-harap akan datang????

Mungkin ceritanya tidak jauh berbeda dengan Beasiswa yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Sarolangun.

Pada tahun anggaran 2007 ini, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sarolangun telah menganggarkan sejumlah dana yang diperuntukkan bagi putra daerah untuk melanjutkan sekolah di perguruan tinggi dalam bentuk beasiswa/bantuan dana pendidikan pada jenjang S1, S2 dan S3. Melalui proposal yang diajukan dari dalam dan luar Kabupaten Sarolangun, maka pemerintah daerah memberikan bantuan yang disesuaikan dengan besarnya dana yang dianggarkan.

Pada dasarnya, program ini merupakan gebrakan "terbaik" yang pernah dilakukan oleh Pemda Kabupaten Sarolangun dan bahkan satu-satunya di Propinsi Jambi (terbuka untuk umum). Pemda Propinsi Jambi pun belum berani memberikan bantuan pendidikan secara terbuka dan luas seperti yang dilakukan oleh Pemda Kabupaten Sarolangun. Suatu program yang sangat berani dan prospektif di masa depan.

Namun apa lacur, program yang semestinya dapat meringankan mahasiswa (baik dari kalangan pegawai Pemda Kabupaten Sarolangun ataupun umum) malah menjadi beban yang memberatkan (terutama para penerima bantuan S1). Pengorbanan dan pengeluaran, baik secara materil maupun immateril, yang tidak sedikit ternyata harus sia-sia akibat belum jelasnya status pengucuran dana yang telah disetujui oleh Bupati Sarolangun.
Hingga penghujung tahun 2007, mahasiswa yang telah disetujui untuk memperoleh bantuan dana pendidikan sejak Bulan Februari, hampir sebagian besar belum menerima satu sen pun. Padahal apabila dicermati, mahasiswa yang bersangkutan telah diwajibkan membayar biaya pendidikan (SPP) sebanyak 2 kali pada tahun 2007 ini, yaitu pada Bulan Februari dan Agustus/September.

Sebenarnya apa yang terjadi???
What's happen?? There is something wrong???

Dari informasi yang banyak berkembang dikalangan umum ataupun pegawai pemda sendiri, penyebab dari kusut dan carut marutnya pencairan dana bantuan pendidikan ini sangat bervariasi sehingga perlu diinventarisir lebih lanjut. Beberapa penyebabnya antara lain :

1). Terjadinya trade-off visi antara Bupati Sarolangun dengan Pejabat di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) tentang Program Beasiswa Pemda Kabupaten Sarolangun. Hal ini diakibatkan adanya interpretasi yang berbeda dikalangan pejabat BKD terhadap ide dan keberadaan program beasiswa yang merupakan program utama Bupati Sarolangun dalam Pilkada tahun 2006 lalu, sehingga sulit menjabarkan poin-poin utama dan urgen yang semestinya dimunculkan dalam penyusunan dan pengembangan cetak biru (blue print) sistem pemberian beasiswa. Walaupun sebenarnya referensi tentang sistem yang dijadikan acuan dapat diperoleh dari pihak lain, misalnya dari Departemen Dalam Negeri RI yang pernah menawarkan kesempatan beasiswa bagi PNS dari Pemda Kabupaten Sarolangun dengan sistem yang sangat jelas dan terinci. Atau dapat juga mengacu dari sistem beasiswa yang berasal dari BAPPENAS.

2). Sistem yang tidak jelas dan transparan.
Apabila dicermati lebih lanjut, ternyata tidak ditemui adanya sistem yang transparan dan jelas terutama sehubungan dengan pembayaran dana bantuan pendidikan yang telah disetujui pencairannya. Pejabat di BKD belum mampu menterjemahkan dan menjabarkan program dalam bentuk yang lebih jelas dan sistematis, seperti syarat-syarat penerima beasiswa, besarnya dana yang diperoleh(beasiswa yang diterima oleh mahasiswa yang melanjutkan pendidikan di luar negeri tentu berbeda dengan dalam negeri), batas waktu pencairan dan lain-lain.

3). Evaluasi dan pengendalian program tidak dijalankan secara efisien.
Setiap kegiatan semestinya harus dilakukan kontrol dan evaluasi untuk menilai kinerja, sehingga dapat dilakukan perbaikan di masa depan. Menurut Hunger dan Wheelen (1996) dalam bukunya Strategic Management, menyatakan bahwa Evaluasi dan pengendalian merupakan proses yang melaluinya aktivitas-aktivitas dan hasil kinerja dimonitor dan kinerja sesungguhnya dibandingkan dengan kinerja yang diinginkan. Elemen ini juga dapat menunjukkan secara tepat kelemahan-kelemahan dalam implementasi strategi sebelumnya dan mendorong proses keseluruhan untuk dimulai kembali.
Akibat belum terincinya sistem dari program beasiswa/bantuan pendidikan ini, tentu saja BKD akan menghadapi kesulitan dalam mengevaluasi kinerja karena parameter dan ukuran yang akan dievaluasi masih samar-samar, sehingga sangat dikhawatirkan keberlangsungan program ini di masa mendatang.

So, what should they do??

Orang bijak berkata bahwa "Tak ada gading yang tak retak" ; "No bodies perpect"!!!

Kini, hal pertama kali yang harus dilakukan adalah koordinasi dan mengkaji ulang sistem pemberian beasiswa/bantuan pendidikan yang melibatkan pihak-pihak berkompeten sehingga dapat melahirkan kembali (reborn) program beasiswa yang lebih fleksible dan benar-benar jatuh kepada orang-orang yang layak untuk dibantu, yang memberikan sumbangsih kepada daerah setelah selesai masa pendidikan demi kemajuan masyarakat Kabupaten Sarolangun.

Program beasiswa harus menjadi program yang hidup dan berkembang demi generasi muda Kabupaten Sarolangun yang mandiri dan berperadaban.

Selasa, 11 September 2007

English in Sarolangun ; Yes or No (Part 2)




Kendala dari dalam diri sendiri dalam bentuk lain adalah selalu mempertimbangkan perasaan dan pikiran orang lain. Misalnya, timbulnya rasa malu untuk berbicara dalam bahasa asing karena akan disangka orang lain sebagai tindakan yang arogan dan sombong. Budaya malu pada prinsipnya merupakan identitas masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal tersebut akan sangat positif nilainya apabila dapat ditempatkan pada posisi dan situasi yang tepat pula. Misalnya malu karena mencuri atau malu karena berbohong. Namun pada kenyataannya apabila dicermati lebih lanjut, budaya malu tersebut teraplikasi hanya pada sisi tertentu. Sehingga pada akhirnya berpengaruh terhadap kepribadian yang cenderung tertutup.

Bertolak dari hal tersebut, malu berbahasa dengan bahasa yang berbeda ternyata memberikan dampak yang cenderung merugikan. Stigma "Apa kata orang" akan selalu menjadi tembok kokoh dalam menghambat pengayaan kemampuan bahasa seseorang.

Bahasa Inggris tidak hanya sekedar Yes or No. Namun lebih luas dari pada itu. Koleksi bahasa yang lebih bervariasi akan sangat membantu seseorang dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan pergaulan. Kini bukan saatnya lagi menumpuk perhatian dan waktu yang lebih besar kepada "Apa kata orang". Fleksibel dan elastis, mungkin ini kata yang tepat untuk menggambarkan sikap yang diperlukan untuk dapat mengembangkan potensi diri, sehingga mampu terbang lebih tinggi.

It will be easy if we think easy. It will be difficult if we think it difficult too.
Let's start to step and leave the worst in your back.
Never shy to say everything what you think of.

Kamis, 06 September 2007

English in Sarolangun ; Yes or No

Dear my friend,

I think everybody can give us more explaination about our action. They are going to assess us and will make a complain if what we have done is impolite. Although we have gave the best, they always assess us same like their first assessment. So please, do not do wrong thing in our first step.

Butuh komitmen dan kemauan keras bagi pemerintah daerah untuk mencetak sumber daya manusia yang kompeten dan berkualifikasi tinggi, terutama pegawai yang dapat bersaing dalam kemajuan global sekarang. Dukungan dana yang kuat disertai dengan program dan sistem yang transparan serta fleksibel juga dibutuhkan agar pegawai pemerintah daerah (pemda) dapat memiliki akreditasi yang mumpuni dalam menyediakan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Namun demikian, faktor dari diri sendiri juga memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan dan pengembangan kompetensi pegawai pemda. Pada kenyataan kendala yang bersifat non teknis kadang-kadang menjadi pertimbangan utama bagi pegawai pemda dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan peningkatan pendidikan. Misalnya, faktor keluarga dan gender. Pegawai pemda terutama yang berjenis kelamin perempuan terkadang terkendala pada fungsi dan peranannya dalam keluarga dan pendidikan anak, sehingga seringkali melupakan peluang untuk dapat meningkatkan kemampuan dan kompetensinya. Kendala ini pada prinsipnya dapat dieliminir dengan memberi pengaturan yang seimbang dalam peran dan tugas antara suami dan isteri (bersambung)

Rabu, 15 Agustus 2007

English in Sarolangun ; Just No Smoking

My Dearest,

Akmal, 25 tahun yang menamatkan pendidikan di salah satu SMK Jurusan Sekretaris di Kabupaten Sarolangun - Propinsi Jambi. Kadang-kadang berusaha berbahasa Inggris, namun ternyata Just No Smoking yang bisa diingat. Kenapa??? Karena sering ingin menyalakan rokok di Ruang Ajudan Bupati yang nota bene adalah ruang ber - AC... dan ditegur dengan kalimat " No Smoking Area"!!!.

Imron, 23 tahun, tamatan IPDN - kata orang gudangnya kekerasan yang sering menelan korban - namun selama pendidikannya tidak pernah mengecap betapa horornya "Jatinangor"...he...he...
Bahasa Inggris tentu tidak asing dengan pendidikannya yang tinggi, namun ternyata sulit mengerti bahasa internasional tersebut. Ternyata, begitu asing dengan bahasa yang sejak sekolah dasar diajarkan runut dengan tata bahasanya.

Rido, 22 tahun, tamat SMAN 5 Jambi Jurusan IPS. Pernah Kuliah di Jurusan Bahasa Jepang di salah satu universitas di Bandung. Namun memutuskan berhenti dan masuk Fakultas Hukum Universitas Jambi dan bertahan selama 3 bulan. Walaupun belajar Bahasa Inggris sewaktu sekolah dasar, namun karena familiar dengan berita, musik dan artikel yang menggunakan Bahasa Inggris, maka mudah sekali mengerti apa yang dikatakan seseorang dalam Bahasa Inggris.

Ketiga pemuda tersebut adalah pegawai yang bekerja sebagai staf di Pemda Kabupaten Sarolangun - Propinsi Jambi. Keterasingan dan ketidakfasihan akan penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa penting dalam pergaulan global sudah menjadi masalah mendasar dalam hal kualitas sumberdaya aparatur pemerintah, terutama di daerah. Salah satu alasan mendasar disamping keterbatasan kemampuan, adalah malu untuk menggunakan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari seperti halnya penggunaan Bahasa Indonesia.

Ketidaksadaran dan kealfaan dalam pengembangan kemampuan bahasa bagi staf dari atasan juga memberi pengaruh yang cukup signifikan. Hal ini demikian kompleks jika dibarengi dengan anggaran dana yang minim, yang dialokasikan bagi pengembangan kompetensi dan kemampuan staf dalam menghadapi persaingan ketat dewasa ini. Sebagai contoh, persaingan dalam memperebutkan kesempatan beasiswa dari pemerintah pusat atau pun dari lembaga luar negeri yang nota bene mensyaratkan standar Bahasa Inggris yang cukup tinggi. "So, There's nothing to do without give them more opportunities"..... (bersambung)