AKU ADALAH SEORANG MUSAFIR
“dan bekalku sedikit, aku tidak melihatnya cukup.
Bekal itu membuat aku menangis karena panjangnya jarak. Apakah Engkau akan membakarku dengan api,
Wahai dambaan cita-citaku?”
aku adalah seorang musafir. Begitulah kukatakan bila ada yang bertanya siapa aku. Dari awalnya aku memang begitu dan takdirkulah yang menyebabkan aku menjadi musafir. Berjalan terus dari pertamanya keberadaanku. Melintasi garis batas dengan melampaui jarak dan waktu. Namun aku jujur, aku tak ingin melampaui batas jalur yang seharusnya kutempuh, seperti yang kulakukan dahulu kala. Saat aku tak sadar bahwa aku sebenarnya adalah seorang musafir.
Aku adalah seorang musafir. Mengapa ? begitulah yang s’lalu dan sering tertanyakan dari setiap insan yang melintas dihadapan mataku. Sungguh....aku tak tahu mengapa, akan tetapi yang kutahu hanyalah bahwa aku s’lalu mendapat tambahan bekal dalam perjalanan jauhku. S’makin lama s’makin bertambah. Sungguh tak kusangka, s’makin jauh perjalanan terlampaui dan s’makin lama waktu yang t’lah terakhiri, maka s’makin banyak yang t’lah kutemui. Sungguh seribu sungguh, ternyata aku memang seorang musafir.
Aku adalah seorang musafir. Kitab hidupku yang menulisnya begitu. Tiadalah sampai ilmuku menembus celah hampa penuh makna. Tatkala melampaui gurun, yang ada hanyalah pasir. Tatkala melangkahi sabana, yang ada hanyalah rumput. Manakala menembus kabut, yang terlihat asaplah semata. Bilamana di bawah hujan, yang kutepis hanyalah air belaka. Bilamana suatu waktu menengadah malam ke langit, yang ada hanyalah kelam. Menatap langit kelam tak berujung tak bertepi.... kecil... sungguh aku kecil. Menghitung semua langkah yang t’lah kuangkat, kapankah berhenti?. Adakah yang akan menghentikan perjalananku? Adakah sesuatu ? apakah itu ? itukah waktu?
Aku merintih. Aku mengisak. Dan aku adalah seorang musafir, yang mengais bekal pada setiap tempat pemberhentianku. Begitulah halnya aku. Cukupkah bekal itu untuk semua sisa perjalananku ? janganlah pernah bertanya begitu, sebab aku pun tak tahu. Mungkin sangat sedikit, bahkan untuk mengisi pundi-pundi nafasku. Namun aku hanya bisa terus berjalan, kar’na tiadalah aku yang pantas menghitung. Bukan hakku menunda waktu untuk menghitung, seberapa banyak bekal yang t’lah terkumpul. Sementara aku tak pandai berhitung. Kar’na aku adalah seorang musafir.
Ya, aku adalah seorang musafir, yang demikian s’lalu kubilang pada setiap yang menyela. Aku bukan raja, walau sangat ingin. Aku tiadalah seorang penguasa walau sangat berkehendak. Berharap aku seorang hartawan, namun tidaklah begitu. Mendamba adalah seorang cendikia, namun ternyata bukanlah aku. Dan aku bukanlah siapa-siapa ataupun apa-apa walaupun aku sangat berkehendak. Aku adalah seorang musafir belaka, yang – aku yakin – sebentar lagi akan berhenti berkelana. Sekejap lagi takkan bisa mengumpul bekal. Yang sesaat lagi ‘kan menjumpai Sang pemberi peran sebagai seorang musafir. Sebentar, sekejap, sesaat laku bekalku ‘kan bisa dihitung. Apakah masih tersisa dan cukup mengantarkanku ke gerbang keabadian, yang menjanjikan kenikmatan yang tak terkirakan. Ataukah .... perjalananku sia-sia. Tanpa bisa mengumpulkan kecukupan bekal. Bahkan tak terbayangkan bila aku terhina dan tercampakkan ke dalam kolam keabadian yang menyala-nyala, membakar-bakar.
Hanya keridhoan Rabb-ku yang s’lalu akan kukumpulkan disepanjang kembaraanku. Kar’na aku adalah seorang musafir.
Selasa, 08 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar