Selasa, 08 Juli 2008

Saat Aku Jatuh

I do not know whether to laugh or cry
I do not know whether to live or die
I do not know whether to stay or run away
I do not know…

Saat aku sadar bahwa aku tlah berada di atas, seseorang menarik tanganku untuk turun ke bawah. Aku mengibas-ngibas tanganku agar tarikan itu menjauh dan tak lagi menyentuh tangan lemahku. Tapi kibasan itu tak menyurutkan tarikan itu, bahkan semakin menguat hingga karena kelelahanku, aku tertarik dan kemudian secara tiba-tiba aku terjatuh... Sungguh sangat sakit .... sakit sekali....

Saat itu aku sangat ingin menyakinkan diriku bahwa diriku hanya bermimpi. Jatuh itu hanyalah khayalan tidurku, yang untuk kemudian tidak akan kurasakan sakitnya. Aku sangat yakin, aku tidak merasakan apa-apa....

Tapi egoku ternyata merasakan hal yang sebaliknya. Dia terluka parah dan merintih. Menjerit-jeritkan akan ketidakberdayaanku. Saat luka itu semakin menganga, perlahan-lahan pikirankupun terluka, sehingga mata hatiku tak dapat melihat mengapa luka itu tiba-tiba ada. Aliran darah telah menutupi penglihatannya sehingga aku semakin gelap dan tak sadar, betapa aku melupakan diriku untuk segera membersihkannya.

Aku hilang akal dan tak mau menerima alasan. Aku menebas segala yang berada dihadapanku dengan lidah tajam yang semakin membiru. Mencela dan mencoba mencari-cari kelicikan orang lain. Terus mencoba mencari sehingga aku pun lelah diri dengan cucuran peluh yang mengalir deras. Tapi tetap tak menemukan apa yang kucari, sesuatu yang sebenarnya tak perlu kucari.

Aku seakan-akan terlena akan keberadaanku. Berada diketinggian, aku dapat melihat keindahan terbentang luas dihadapanku. Sekecil hal apapun dapat terlihat dan membanggakan diriku, menyadari bahwa hanya aku yang tahu. Namun semakin lama aku tak sanggup melihat lebih banyak keindahan itu dengan jelas. Sesuatu telah melumuri tubuhku dengan tanpa meninggalkan sejengkal pun keterbukaan. Tamakku menjerat semakin erat sampai-sampai aku hampir tak dapat bernapas lega sejenak pun. Angkuhku menindih memberatiku, sehingga aku semakin terhimpit dan sulit untuk bergerak lepas. Dengkiku merasuki hingga ke atom-atom di seluruh batinku hingga aku tak dapat lari menjauh.

Aku jatuh saat aku sama sekali tidak sadar, betapa yang menarikku adalah orang yang sama sekali tak kukenal. Aku tak mempunyai bayangan secuil pun akan keberadaannya. Aku tak mengenalnya sebelum ini. Dia begitu asing. Mungkinkah itu yang menyebabkan sakitku begitu terasa?? Dia dengan tiba-tiba menarik keras dan menghempaskan aku hingga aku merasa telah hancur lebur, tak menyisakan sedikitpun remah-remahnya.

Sedang apakah aku ini?? Jika aku tertidur, mengapa saat aku jatuh sangat terasa sakitnya?? Apabila aku terjaga, mengapa aku tak menyadari mengapa hal itu terjadi??

Apakah setelah terjatuh, aku dapat berdiri lagi dan mencapai keadaanku diketinggian seperti semula dengan pemandangan yang berbeda??. Apakah setelah terluka, aku akan lebih berhati-hati menjaga jiwa, menyiraminya dengan tetesan kebersahajaan dan kebijakan??. Apakah setelah remuk redam, aku dapat kembali tegak berdiri menatap hamparan hari-hari dengan lega hati??. Akankah aku menyerah??

I’m strong when I’m on your shoulders,
You raise me up to more than I can be.

Keluhan. Makian. Rintihan. Jeritan..... aku terlalu disibukkan dengan itu semua. Aku benar-benar t’lah melupakan keberadaan yang lain dengan anugerah yang telah diberikan kepada mereka. Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Mengabaikan keberadaan raga lain yang dengan setia akan mendengarkan. Yang akan menatap dengan dukungan. Yang menerima dengan keiklasan.

Untuk sebuah keindahan, ada sebuah mata untuk melihatnya,
Untuk setiap kebenaran, ada sebuah telinga untuk mendengarnya,
Untuk setiap cinta, ada sebuah hati untuk menerimanya.

Menerima apa adanya adalah sebuah kebijakan,
Memberi yang terbaik adalah sebuah kebajikan,

Aku harus belajar mencintai diriku sendiri agar aku mampu mencintai dan menyayangi orang lain – plus que hier, moins que demain lebih dari kemarin, kurang dari esok. Melihat dari cara pandang orang lain akan memberikan aku keluasan pikiran. Berpikir dengan kejernihan akan membuat aku dewasa dan terjaga. Pengalaman apapun, walau menyakitkan akan memberi aku kekuatan untuk tetap dapat tegar berdiri.

Don’t give up...
It’s just the way of the world when your heart heavy,
I will lift it for you
Don’t give up...
Because you are to be hurt if silence keep your eyes,
I will break it for you

Everybody wants to be understand,
While I can give you...
Everybody wants to be laugh,
Don’t give up....
Because you are loved...
No Women no cry….

Sebenarnya, ini adalah cerita yang aku buat dengan imajinasiku yang sangat dangkal. Tentang seseorang yang selama ini memberikan gambaran mendalam dan mengharu biru dalam berjuang dan bertahan hidup dalam lingkungan yang keras dan konservatif (dalam imajinasiku).

Nenekku. Ibu dari ayahku. Biasanya kami (cucu-cucunya) memanggil Ninok.

Tak lama aku mengenal secara mendalam dan pribadi akan sosok wanita ini, karena sebagian besar hidupku kuhabiskan di tempat yang berbeda dengannya. Bahkan aku memperoleh pengertian akan hubungan yang sangat dekat diantara kami adalah ketika aku menyadari bahwa aku telah remaja.

Jarak antara aku dan dia physically sangat jauh dan pada saat dulu hanya dapat dicapai setelah melakukan perjalanan berjam-jam (suatu hal yang membuatku tak nyaman adalah melakukan perjalanan darat yang sangat jauh dan melelahkan). Inilah salah satu penyebab mengapa pengenalan aku akan dia begitu dangkal terasa.

Dalam angan remajaku yang disirami dengan cerita dongeng televisi, tergambar sosok tua, ibunya ayahku, dengan pakaian yang rapi, bersih dan berkaca mata sedang membaca roman tua di atas sebuah kursi goyang di dalam ruangan yang sejuk dan damai. Cara bicara aristokrat dan terpelajar selalu mengiringi setiap tutur kata yang tersusun dan tertata. Pandangan mata yang cerdas selalu terpancar tatkala berbicara. Gambaran yang ideal seorang nenek bagiku.

Seseorang akan terasa keberadaannya tatkala orang itu sudah tiada....

Aku ternyata baru membuka mata pikiranku saat mengenang jauh keberadaanya setelah dia tiada... Seorang wanita tua yang selalu membuat air mataku haruku turun tanpa pamit. Yang dengan tangan kasarnya membelai setiap helai rambut anak-anaknya. Yang dengan pancaran mata lugunya menyirami kehidupan sederhana anak-anaknya. Yang dengan tutur kata lembut nasehatnya membekali batin anak-anaknya. Agar elok laku. Agar jujur bersikap. Agar bersahaja hidup. Agar selalu mengulurkan tangan. Agar tak segan memberi. Agar berdiri di atas kaki sendiri.
Waktu tidak akan pernah kembali...
Namun kembalilah pada masa lalu apabila rasa rindu hadir.

Seandainya masa perkenalanku dengannya dapat hadir lebih dahulu...
Seandainya aku dapat merasakan kebersahajaannya yang bercahaya lebih lama...
Seandainya aku dapat menikmati seluruh uluran kebaikannya...
Seandainya kesempatan bersamanya dapat lebih banyak dan bermakna....

Dia menjadi begitu berharga untuk dinilai bahkan melalui imajinasiku yang selalu membakar. Mengungkapkan keseluruhan dia apa adanya adalah keinginan yang membuncah dihatiku. Aku tidak melihat dia sebagai sosok seperti yang kuangankan dari satu dongeng di televisi. Sebaliknya, aku melihat dia adalah dia. Wanita yang berada dalam suatu keseimbangan peran. Sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pencari nafkah setelah sang suami berpulang kepada Sang Penggenggam Seluruh Jiwa. Tubuhnya yang kecil begitu lincah merambah hutan untuk dijamah dan digarap. Tangannya yang mungil dengan cekatan mengolah tanaman hutan untuk dapat menjelma menjadi makanan yang dapat dinikmati bersama anak-anak. Keterbatasan sebagai seorang wanita tidak menyurutkan langkahnya untuk tidak bergantung kepada orang lain. Agama dan tradisi keluarga memegang erat dirinya untuk tak menyentuh kesombongan dan keangkuhan diri. Menutup keegoisan dengan tirai kearifan yang bersahaja. Bahkan ringkih tubuh pun tak membuatnya menyerah untuk tetap kuat berdiri.

Air mata pun tak hentinya lancar mengalir...

Imajinasiku yang dangkal ini bahkan telah membuatku frustasi. Semua potongan-potongan memori menjadi tidak teratur dan melompat-lompat. Aku tidak bisa merangkainya menjadi alur yang padat. Betapa aku begitu memiliki ingatan yang sangat payah akan dirinya. Sedikit sekali yang aku punya....sangat sedikit...


Waktu tak dapat berputar kembali....
Tetapi aku dapat memutar gulungan memori dalam alam pikirku...
Mengenang seorang wanita yang tanpa sadar menjadi inspirasi hidupku (aku bahkan terkejut tatkala menyadari bahwa aku melihat gambaran sempurna seorang wanita yang memberdayakan dirinya sendiri dalam kehidupan keluarga dan masyarakat). Seorang wanita dalam artian yang sebenar-benarnya wanita.

.... No matter what they think of me,
They can’t take away my dignity....
Because the greatest love of all,
Those happening to me..
I found the greatest love of all inside of me,
.... Learning to love yourself is the greatest love of all+
+ George Benson ; The greatest love of all
AKU ADALAH SEORANG MUSAFIR

“dan bekalku sedikit, aku tidak melihatnya cukup.
Bekal itu membuat aku menangis karena panjangnya jarak. Apakah Engkau akan membakarku dengan api,
Wahai dambaan cita-citaku?”

aku adalah seorang musafir. Begitulah kukatakan bila ada yang bertanya siapa aku. Dari awalnya aku memang begitu dan takdirkulah yang menyebabkan aku menjadi musafir. Berjalan terus dari pertamanya keberadaanku. Melintasi garis batas dengan melampaui jarak dan waktu. Namun aku jujur, aku tak ingin melampaui batas jalur yang seharusnya kutempuh, seperti yang kulakukan dahulu kala. Saat aku tak sadar bahwa aku sebenarnya adalah seorang musafir.

Aku adalah seorang musafir. Mengapa ? begitulah yang s’lalu dan sering tertanyakan dari setiap insan yang melintas dihadapan mataku. Sungguh....aku tak tahu mengapa, akan tetapi yang kutahu hanyalah bahwa aku s’lalu mendapat tambahan bekal dalam perjalanan jauhku. S’makin lama s’makin bertambah. Sungguh tak kusangka, s’makin jauh perjalanan terlampaui dan s’makin lama waktu yang t’lah terakhiri, maka s’makin banyak yang t’lah kutemui. Sungguh seribu sungguh, ternyata aku memang seorang musafir.

Aku adalah seorang musafir. Kitab hidupku yang menulisnya begitu. Tiadalah sampai ilmuku menembus celah hampa penuh makna. Tatkala melampaui gurun, yang ada hanyalah pasir. Tatkala melangkahi sabana, yang ada hanyalah rumput. Manakala menembus kabut, yang terlihat asaplah semata. Bilamana di bawah hujan, yang kutepis hanyalah air belaka. Bilamana suatu waktu menengadah malam ke langit, yang ada hanyalah kelam. Menatap langit kelam tak berujung tak bertepi.... kecil... sungguh aku kecil. Menghitung semua langkah yang t’lah kuangkat, kapankah berhenti?. Adakah yang akan menghentikan perjalananku? Adakah sesuatu ? apakah itu ? itukah waktu?

Aku merintih. Aku mengisak. Dan aku adalah seorang musafir, yang mengais bekal pada setiap tempat pemberhentianku. Begitulah halnya aku. Cukupkah bekal itu untuk semua sisa perjalananku ? janganlah pernah bertanya begitu, sebab aku pun tak tahu. Mungkin sangat sedikit, bahkan untuk mengisi pundi-pundi nafasku. Namun aku hanya bisa terus berjalan, kar’na tiadalah aku yang pantas menghitung. Bukan hakku menunda waktu untuk menghitung, seberapa banyak bekal yang t’lah terkumpul. Sementara aku tak pandai berhitung. Kar’na aku adalah seorang musafir.

Ya, aku adalah seorang musafir, yang demikian s’lalu kubilang pada setiap yang menyela. Aku bukan raja, walau sangat ingin. Aku tiadalah seorang penguasa walau sangat berkehendak. Berharap aku seorang hartawan, namun tidaklah begitu. Mendamba adalah seorang cendikia, namun ternyata bukanlah aku. Dan aku bukanlah siapa-siapa ataupun apa-apa walaupun aku sangat berkehendak. Aku adalah seorang musafir belaka, yang – aku yakin – sebentar lagi akan berhenti berkelana. Sekejap lagi takkan bisa mengumpul bekal. Yang sesaat lagi ‘kan menjumpai Sang pemberi peran sebagai seorang musafir. Sebentar, sekejap, sesaat laku bekalku ‘kan bisa dihitung. Apakah masih tersisa dan cukup mengantarkanku ke gerbang keabadian, yang menjanjikan kenikmatan yang tak terkirakan. Ataukah .... perjalananku sia-sia. Tanpa bisa mengumpulkan kecukupan bekal. Bahkan tak terbayangkan bila aku terhina dan tercampakkan ke dalam kolam keabadian yang menyala-nyala, membakar-bakar.

Hanya keridhoan Rabb-ku yang s’lalu akan kukumpulkan disepanjang kembaraanku. Kar’na aku adalah seorang musafir.