No Women no cry….
Sebenarnya, ini adalah cerita yang aku buat dengan imajinasiku yang sangat dangkal. Tentang seseorang yang selama ini memberikan gambaran mendalam dan mengharu biru dalam berjuang dan bertahan hidup dalam lingkungan yang keras dan konservatif (dalam imajinasiku).
Nenekku. Ibu dari ayahku. Biasanya kami (cucu-cucunya) memanggil Ninok.
Tak lama aku mengenal secara mendalam dan pribadi akan sosok wanita ini, karena sebagian besar hidupku kuhabiskan di tempat yang berbeda dengannya. Bahkan aku memperoleh pengertian akan hubungan yang sangat dekat diantara kami adalah ketika aku menyadari bahwa aku telah remaja.
Jarak antara aku dan dia physically sangat jauh dan pada saat dulu hanya dapat dicapai setelah melakukan perjalanan berjam-jam (suatu hal yang membuatku tak nyaman adalah melakukan perjalanan darat yang sangat jauh dan melelahkan). Inilah salah satu penyebab mengapa pengenalan aku akan dia begitu dangkal terasa.
Dalam angan remajaku yang disirami dengan cerita dongeng televisi, tergambar sosok tua, ibunya ayahku, dengan pakaian yang rapi, bersih dan berkaca mata sedang membaca roman tua di atas sebuah kursi goyang di dalam ruangan yang sejuk dan damai. Cara bicara aristokrat dan terpelajar selalu mengiringi setiap tutur kata yang tersusun dan tertata. Pandangan mata yang cerdas selalu terpancar tatkala berbicara. Gambaran yang ideal seorang nenek bagiku.
Seseorang akan terasa keberadaannya tatkala orang itu sudah tiada....
Aku ternyata baru membuka mata pikiranku saat mengenang jauh keberadaanya setelah dia tiada... Seorang wanita tua yang selalu membuat air mataku haruku turun tanpa pamit. Yang dengan tangan kasarnya membelai setiap helai rambut anak-anaknya. Yang dengan pancaran mata lugunya menyirami kehidupan sederhana anak-anaknya. Yang dengan tutur kata lembut nasehatnya membekali batin anak-anaknya. Agar elok laku. Agar jujur bersikap. Agar bersahaja hidup. Agar selalu mengulurkan tangan. Agar tak segan memberi. Agar berdiri di atas kaki sendiri.
Waktu tidak akan pernah kembali...
Namun kembalilah pada masa lalu apabila rasa rindu hadir.
Seandainya masa perkenalanku dengannya dapat hadir lebih dahulu...
Seandainya aku dapat merasakan kebersahajaannya yang bercahaya lebih lama...
Seandainya aku dapat menikmati seluruh uluran kebaikannya...
Seandainya kesempatan bersamanya dapat lebih banyak dan bermakna....
Dia menjadi begitu berharga untuk dinilai bahkan melalui imajinasiku yang selalu membakar. Mengungkapkan keseluruhan dia apa adanya adalah keinginan yang membuncah dihatiku. Aku tidak melihat dia sebagai sosok seperti yang kuangankan dari satu dongeng di televisi. Sebaliknya, aku melihat dia adalah dia. Wanita yang berada dalam suatu keseimbangan peran. Sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pencari nafkah setelah sang suami berpulang kepada Sang Penggenggam Seluruh Jiwa. Tubuhnya yang kecil begitu lincah merambah hutan untuk dijamah dan digarap. Tangannya yang mungil dengan cekatan mengolah tanaman hutan untuk dapat menjelma menjadi makanan yang dapat dinikmati bersama anak-anak. Keterbatasan sebagai seorang wanita tidak menyurutkan langkahnya untuk tidak bergantung kepada orang lain. Agama dan tradisi keluarga memegang erat dirinya untuk tak menyentuh kesombongan dan keangkuhan diri. Menutup keegoisan dengan tirai kearifan yang bersahaja. Bahkan ringkih tubuh pun tak membuatnya menyerah untuk tetap kuat berdiri.
Air mata pun tak hentinya lancar mengalir...
Imajinasiku yang dangkal ini bahkan telah membuatku frustasi. Semua potongan-potongan memori menjadi tidak teratur dan melompat-lompat. Aku tidak bisa merangkainya menjadi alur yang padat. Betapa aku begitu memiliki ingatan yang sangat payah akan dirinya. Sedikit sekali yang aku punya....sangat sedikit...
Waktu tak dapat berputar kembali....
Tetapi aku dapat memutar gulungan memori dalam alam pikirku...
Mengenang seorang wanita yang tanpa sadar menjadi inspirasi hidupku (aku bahkan terkejut tatkala menyadari bahwa aku melihat gambaran sempurna seorang wanita yang memberdayakan dirinya sendiri dalam kehidupan keluarga dan masyarakat). Seorang wanita dalam artian yang sebenar-benarnya wanita.
.... No matter what they think of me,
They can’t take away my dignity....
Because the greatest love of all,
Those happening to me..
I found the greatest love of all inside of me,
.... Learning to love yourself is the greatest love of all+
+ George Benson ; The greatest love of all
Selasa, 08 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar